Fuzzy Memory V

CHAPTER 5
Sasuke's PoV
"Ya, Naruto! Anak yang kau bicarakan itu adalah kakakku, Itachi. Dan dia sudah meninggal!"
Ah, akhirnya kukatakan. Akhirnya aku mengatakannya! Sial! Padahal aku hanya ingin melupakan segalanya dan melanjutkan hidup. Tapi…kenapa sulit? Kenapa sulit sekali keluar dari bayang-bayang kalian? Kakak…ibu…
Aku bersender di lemari, menunduk, sambil memijit pelipis. Kepalaku sakit. Dadaku sesak. Haruskah? Haruskah kulanjutkan semua pembicaraan ini? Pembicaraan yang tak ingin kuteruskan tapi telah terlanjur kumulai?
"Sa…Sasuke? Apa maksudmu? Kau…serius?" aku mengangkat wajah. Memandang ekspresi tak percaya berundung mendung yang dipasang orang dihadapanku. Apa-apaan dia? Kenapa wajahnya begitu?
"Dia sudah mati! Itu kurang jelas?" dia nampak terkejut dengan teriakanku yang tiba-tiba. Begitu juga aku. Aku…tak bisa berpikir jernih kalau menyangkut ini semua. Terlalu banyak tekanan.
"Ta-tapi…kenapa saat itu kau tak ada? Aku tak pernah melihat ada anak lain waktu bermain di rumah ini" kuhela napas panjang. Ini adalah hal yang berat untuk kubicarakan. Apalagi pada anak berambut pirang dihadapanku ini.
Kenapa dia bisa begitu terikat dimasa lalu? Padahal dia tak punya kaitan apa-apa. Tak punya ikatan apa-apa. Dia sama sekali tidak berhak! Tidak berhak punya ekspresi sama seperti diriku. Tidak berhak mencicipi apa yang kurasakan. Dia bukan siapa-siapa, kan? Tapi…
Memoriku saat aku berusia enam tahun tetap meluncur apik dari mulutku.
.
Flashback
Kami pindah ke rumah baru. Kakak bilang ini rumah yang indah dengan halaman yang luas. Tapi bagiku terlihat sama saja. Gelap. Dimana pun aku tinggal, toh aku tetap saja tak bisa memfungsikan indra penglihatanku dengan benar.
"Ayo Sasuke! Kita lihat-lihat rumah ini!" aku berjengit saat Itachi, kakak yang usianya dua tahun diatasku, menarik tanganku.
"Tidak mau! Kau mau mengolok-olokku?" tanyaku sambil menepis tangannya.
"Sasuke, bukankah kita sudah berjanji? Aku akan jadi matamu sampai saatnya nanti kau operasi dan bisa melihat dengan matamu sendiri" aku tercenung. Memang aku buta. Buta! Tapi Itachi tak pernah membuatku merasa demikian. Dia…selalu menggandeng tanganku agar aku bisa sama-sama menikmati keindahan yang tengah dia nikmati. Dia…adalah orang yang paling aku sayangi.
Aku buta sejak lahir. Sebenarnya keadaan ekonomi keluargaku amat sangat mendukung untuk melakukan operasi cangkok mata. Entah kenapa donor yang datang untukku pun selalu ada. Tapi aku juga terlahir dengan fisik yang lemah. Prematur. Ibu melahirkan sebelum waktunya karena tekanan pekerjaan. Bagaimanapun dia wanita karir yang sama sibuknya dengan ayah. Operasi sesederhana apapun bisa jadi membahayakan untukku. Dokter menyarankan agar aku dioperasi saat usiaku cukup besar dan fisikku cukup kuat untuk menjalaninya.
Entah sudah keberapa kalinya kudengar komentar dokter bahwa fisikku sudah nyaris sempurna saat check up. Aku bisa melakukan operasi dalam waktu dekat. Senang. Itu yang pertama kurasakan.
'Senang' itu…bukan rasa senang untuk diriku. Aku senang karena pada akhirnya Itachi tidak akan berdialog sendirian saat bersamaku. Tak perlu menjawab pertanyaanku tentang detil-detil konyol mengenai benda yang tak ada istimewa-istimewanya hanya karena aku tak bisa melihatnya.
Aku akan bisa melihat apa yang dia lihat dengan mataku sendiri! Dan itu hebat! Kami hanya akan saling berdebat tentang semua hal yang kami lihat. Dan itu…mengasyikkan! Sampai akhirnya…
"Sasuke! Kau tahu? Tadi ada anak yang main kesini! Mungkin dia seusia denganmu. Namanya Naruto! Kami main banyak hal. Scrabble, puzzle, kejar-kejaran dengan Yo, main tangkap bola, menangkap kupu-kupu. Besok kalau dia main lagi, keluarlah untuk main bersama!"
Saat mendengar ucapan Itachi, aku tak tahu kenapa hatiku terasa sakit. Suara Itachi terdengar senang. Bersemangat. Berbeda sekali dengan caranya bercerita pada ibu jika baru main denganku. Itu lebih terdengar seperti…nada mengasihani.
Siapa sih anak bernama Naruto itu? Kenapa Itachi bercerita tentangnya dengan suara gembira begitu? Apa karena si Naruto itu bisa melihat sementara aku tidak? Apa buatnya lebih baik punya adik menyenangkan seperti Naruto yang bisa main kejar-kejaran dengan Yo bersamanya? Ya, itu pasti! Siapa yang mau punya adik buta macam aku?
Aku benci dia. Aku benci Naruto! Kenapa? Kenapa dia datang? Kenapa dia mau merebut Itachi dariku? Satu-satunya orang yang mau menghabiskan waktu denganku. Ibuku, walaupun dia baik, dia selalu sibuk dengan pekerjaan. Dan bagi ayah, aku adalah aib. Anak cacat tak pernah berarti bagus baginya. Aku tak pernah dianggap ada olehnya. Jadi, salahkah jika aku berharap banyak pada Itachi?
"Ayolah, Sasuke! Mainlah bersama Naruto! Dia pasti senang karena kalian sepantar. Dia anak yang menyenangkan, lho! Kau pasti akan senang main dengannya!" ajak Itachi. Entah yang keberapa kalinya. Ya, Naruto itu hampir tiap hari datang ke rumah. Menyita waktuku bersama dengan Itachi karena kakakku itu lebih suka bermain dengannya.
Walaupun Itachi mengajakku main, aku tak sudi main dengan mereka. Mereka, anak-anak berpenglihatan normal, mana bisa mengerti aku? Mereka mau membuatku jadi orang bodoh yang duduk di pinggir taman hanya berteman dengan kegelapan sementara mereka berkejaran main layangan? Cih! Tidak, terima kasih! Mendengar tawa mereka yang masuk ke kamarku saja sudah sangat membuatku kesal.
XXX
"Sasuke, dokter bilang, kau sudah bisa operasi bulan depan. Donor matanya akan diusahakan secepatnya. Sebentar lagi kau akan bisa melihat, Sayang!" aku bisa mendengar nada senang dalam suara ibu sepulangnya dia dari kantor. Pantas saja dia pulang cepat. Ternyata dia baru mengambil hasil check up-ku di dokter Tsunade.
"Wah, selamat ya Sasuke!" Itachi langsung memelukku. Aku balas memeluk tangannya sambil tersenyum.
"Buatlah list tentang hal yang ingin kau lakukan setelah kau bisa melihat, Sasuke!" ujar ibu dengan semangat. Aku hanya sanggup mengangguk. Aku terlalu speechless. Ini…sangat mendebarkan!
"Sepertinya dia harus belajar bagaimana membedakan semangka dengan apel terlebih dahulu" kata ayah. Aku tak tahu itu bercanda atau bukan. Tapi otakku yang masih polos dan sederhana ini, hanya bisa mengartikan bahwa ucapan itu…menyakitkan.
"Ayah! Kau tahu sendiri Sasuke itu jenius!" tegur ibu pada ayah. Kurasa. Aku kan tak bisa melihat.
"Jenius itu berbeda dengan bisa melihat Mikoto. Lagipula-" aku bangkit berdiri sebelum ayah menyelesaikan ucapannya. Walau aku buta, yeah, aku bisa merasakan semua mata tertuju padaku.
"Sudahlah, Ayah! Ibu! Jangan bertengkar karena aku! Aku tak mau dioperasi! Pokoknya aku tak mau dioperasi!" jeritku sebelum aku berlari menuju kamar yang jalannya sudah kuhapal.
"Kau lihat apa yang kau buat?" suara ibu. Sebelum aku menutup pintu kamar aku mendengar…
"Ibu, biar aku yang bicara dengannya!"
Itachi.
Aku membenamkan wajahku dibantal dengan posisi duduk bersandar di kepala ranjang. Berharap setiap bulir air mata yang tumpah ke atasnya bisa mengurangi sakit yang kurasakan. Tapi ternyata tak berpengaruh. Kenapa? Kenapa ayah sangat membenciku? Apa aku sebegitu buruknya? Memangnya siapa yang mau terlahir buta? Kalau boleh memilih, aku juga tak mau! Tak mau!
TOK! TOK! TOK!
"Sasuke" panggilan lembut Itachi berhasil mengalihkan wajahku dari bantal untuk sesaat. Tapi itu tak lama karena aku mulai menghambat napasku dengan bantuan bantal. "Aku masuk, ya?"
KRIET
Bisa kudengar pintu terbuka perlahan tapi itu tak dapat mengalihkan perhatianku lagi. Aku tak peduli pada siapapun yang lewat disana. Bahkan Itachi. Bukankah baginya aku juga hanya si buta yang tidak semenyenangkan Naruto berisik itu?
Langkah kaki terdengar mendekat ke arahku. Aku tak bergeming. Langkah kaki itu makin dekat dan akhirnya tempat tidurku bergolak saat seseorang mencelos diatasnya. Tak lama pundakku disentuh.
"Sasuke, kau nangis?" bodoh! Bodoh! Memangnya dia pikir aku ngapain? Membuatku malu saja.
"Kenapa kau bilang tak mau dioperasi?" aku mengangkat wajah dan menghadap padanya. Walaupun aku tak bisa melihatnya, bisa kupastikan posisinya berdasarkan asal suaranya.
"Karena dioperasi atau tidak itu tak berpengaruh untukku! Semua tetap membenciku. Kau juga! Kau juga pasti menginginkanku dioperasi karena kau malu punya adik bu-" sebentuk tangan melingkar dipunggungku sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Sementara satu tangan lain menarik tubuhku hingga kepalaku jatuh ke dada Itachi. Detak jantungnya…kedengaran.
"Maaf! Maaf jika selama ini aku membuatmu merasa begitu. Tapi aku tak pernah malu memiliki kamu. Kau adalah hal yang paling penting untukku, Sasuke"
"Lalu Naruto?" tanyaku sambil mengangkat kepalaku dari dadanya yang nyaman.
"Ha?"
"Kau lebih menyukai Naruto daripada aku, kan? Aku tahu kau lebih senang bermain dengannya. Kau juga pasti lebih senang kalau adikmu dia, kan?" akhirnya. Akhirnya aku berhasil mengeluarkan segala hal mengganjal yang selama ini kusimpan sendiri. Walaupun aku tahu mungkin saja jawaban yang akan kudapatkan tak semanis yang kuharapkan, tapi aku ingin tahu. Meskipun aku harus menyesal nantinya.
"Naruto? Ya, ampun Sasuke! Jadi itu yang membuatmu tak mau main bersama?" tanya Itachi dengan sedikit gelak di nada suaranya. Itu membuatku sebal tapi disisi lain itu membuatku merasa…lega.
"Naruto itu, sampai kapanpun nggak akan pernah jadi adikku. Bagaimana mungkin sih dia bisa menggantikan kamu?" wajahku…panas. Apalagi saat Itachi memelukku lagi.
"Dengar, ya! Naruto itu hanya teman mainku. Sebenarnya aku berharap dia bisa jadi teman mainmu juga. Tapi kau selalu menolak. Aku…ingin kau bisa bermain dengan bebas dan punya teman seperti anak-anak yang lain. Aku hanya berpikir bahwa Naruto bisa jadi teman yang baik buatmu. Jadi teman pertamamu!"
"Aku nggak butuh Naruto. Aku nggak butuh orang lain! Aku hanya butuh kamu! Aku hanya butuh kakak seorang!" tegasku sambil menantang matanya yang bagiku…hitam semua. Hmph. Itu yang kudengar selanjutnya sampai tangan hangat Itachi menyentuh pipiku.
"Aku juga membutuhkanmu. Tapi aku nggak mau egois dan memonopolimu untuk diriku sendiri. Kau membutuhkan semua orang sama seperti orang lain membutuhkanmu. Semua orang diluar sana sangat membutuhkanmu. Butuh untuk mengenalmu. Karena itu, walaupun ingin, aku tak mungkin 'menyimpanmu' sendirian. Habis…kau itu adik paling manis yang pasti membuat semua kakak di seluruh dunia iri padaku!" Itachi mengacak rambutku sebelum akhirnya membenamkan kepalaku di dadanya lagi.
Walau aku tahu dia bohong soal orang yang membutuhkanku (kuputuskan secara sepihak), tapi aku tahu dia jujur soal rasa bangganya akan diriku. Aku memejamkan mata dengan santai di dadanya. Baunya seperti melon. Bau sabun yang kami pakai. Manis. Ah, Itachi. Terima kasih.
"Aku mau dioperasi. Aku mau dioperasi, kakak!" Itachi memegang pundakku, menjauhkanku dari tubuhnya. Aku tahu dia tengah memandangku. Memastikan kesungguhan. Kusentuh wajahnya dengan jemariku yang kecil. "Aku mau melihatmu"
End of Flashback
.
Aku menghela napas. Menghentikan ceritaku sejenak. Mencoba mengatur perasaanku yang bergejolak karena aku tahu, setelah ini aku akan sampai pada bagian yang paling berat. Bagian yang sebenarnya ingin kuhindari.
Mudah saja buatku mengusir Naruto sekarang juga sama seperti saat aku menyeretnya kemari. Tapi aku tahu bahwa aku harus. Aku yang telah membawanya kemari. Memaksa untuk membuatnya tahu akan kebenaran dan apakah aku akan sebegitu tak bertanggungjawabnya padanya? Tidak. Aku adalah Sasuke Uchiha. Tak akan kubiarkan diriku menelan ludahku sendiri.
"La-lalu apa yang terjadi Sasuke? Apa yang terjadi pada Itachi?" aku tak langsung menjawab. Aku hanya bisa memandangi Naruto dengan tatapan terdingin yang kubisa. Aku berharap, paling tidak itu bisa membantuku berpikir jernih. Bahwa itu bisa menyembunyikan ketakutan yang tengah menggelegak di hatiku. Ketakutan untuk dibayangi oleh kejadian saat itu.
Tapi lagi-lagi dia memasang tampang menyebalkannya itu. Tampang seolah-olah dia ikut sakit. Ikut bersedih. Dan aku tak suka.
"Seminggu sebelum operasi cangkok mataku, lagi-lagi kondisi fisikku menurun. Aku sakit batuk parah dan di rawat di rumah sakit di Tokyo. Sepulang dari kantor, ibu selalu menungguku di rumah sakit. Aku senang ada dia tapi…aku rindu Itachi. Disana aku juga tak punya teman main"
"Karena itu aku meminta ibu untuk membawanya ke rumah sakit. Dan ibu setuju karena besok sekolah libur. Jadi itu tak akan membuat sekolah Itachi terganggu. Hari itu…hari dimana seharusnya Itachi datang, aku menunggunya dengan riang. Kakakku akan datang dan dia akan mengajakku main keluar. Membebaskanku dari kamar membosankan ini. Tapi…"
Aku bisa mendengar Naruto menelan ludah. Dadaku makin sakit dibuatnya.
"Tapi dia tak pernah datang. Dia dan ibu…mengalami kecelakaan. Kata ayah, ibu menyetir dalam keadaan mengantuk dan akhirnya menabrak pembatas. Ibu…meninggal di tempat"
"La-lalu Itachi?" tanya Naruto pahit. Aku melirik tajam pada sosok pria berambut pirang dihadapanku itu.
"Itachi terluka parah. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit. Tapi itu percuma. Nyawanya juga tetap tak bisa tertolong" aku berjalan mendekat ke arah Naruto dengan perlahan. Sekarang aku bisa melihat lebih jelas bahwa mata birunya mulai tergenang oleh bening air matanya. Mata yang sudah melihat Itachi.
"I-itu nggak mungkin! Ke-kenapa?" walaupun air mata itu tak bergulir jatuh dari pelupuk matanya, suaranya terdengar bergetar hebat. Aku…
"Kau tahu Naruto? Ini…adalah mata Itachi!" aku menyentuh titik pertemuan kedua alisku dengan jemari tangan kanan sambil terus menusuk pandangan pada Naruto. Naruto nampak syok. "Dia mempercayakan eksistensinya padaku. Dia masih hidup dan melihat dunia melalui diriku. Sekarang kami bisa melihat apapun bersama-sama"
Naruto tersentak kecil saat aku memotong ucapanku. Matanya membulat dengan ngeri. Ngeri? Ya, karena aku bicara dengan nada paling dingin yang bisa dikeluarkan oleh pita suaraku.
"Aku kembali kesini karena pekerjaan ayah. Buatku, ini kesempatan baik karena aku selalu ingin tahu seperti apa kau ini Naruto. Aku selalu ingin tahu anak macam apa yang sudah merebut Itachi dariku. Dan kau…kau membuatku kecewa! Kau hanya anak bodoh, berisik, sembarangan, tak tahu malu, dan tak tahu aturan!"
"Jangan memasang tampang seperti itu! Jangan memasang tampang seolah kau yang paling bersedih! Aku membencinya! Kau tak tahu apa-apa tentang kesedihan akan kematian Itachi!" teriakku di depan wajahnya. Naruto mengerutkan dahi dengan geraman di ujung bibir.
"Kau bertanya kenapa aku menciummu? Itu karena aku MEMBENCIMU! Puas?"
'Kenapa harus matamu yang bisa melihat Itachi dalam keadaan hidup? Sementara aku tidak?' jeritku dalam hati.
BUAGH!
Tonjokan Naruto mendarat telak di rahang kananku. Membuat langit-langit mulutku merasakan asin dan logam disaat bersamaan. Cih!
"Dasar bodoh! Kau pikir kematian Itachi itu pantas dijadikan sebagai bahan untuk membanding-bandingkan kesedihan? Kau…" akhirnya tangis Naruto pecah juga. Aku mengusap lebam bekas tonjokan Naruto tapi ucapan Naruto yang terakhir…entah kenapa terasa lebih menohokku. Tepat dihati dan itu jauh lebih terasa sakit ketimbang denyut yang menjalar di seluruh wajahku.
Naruto berbalik dengan bahunya yang semakin berguncang. Kali ini, dia berhasil membuatku merasa bersalah.
"Sasuke bodoh!" makinya sambil melesat keluar. Meninggalkan aku sendirian di ruang keluarga dengan perasaan kacau. Aku jatuh berlutut. Karena tak tahan dengan kekesalan dan penyesalan yang membuncah di dadaku, aku hanya bisa memukul lantai dengan kepalan tangan bertubi-tubi.
Brengsek! Brengsek!
Tak lama langkah kaki seseorang terdengar mendekat ke arahku. Kupikir itu Naruto. Tapi saat kudongakkan kepala yang kudapati adalah ayah. Yah, lagipula buat apa Naruto bodoh itu kembali lagi kesini?
"Tadi ada anak pirang yang keluar dari sini sambil menangis. Hn, apa yang sudah kau lakukan padanya, Itachi?" tanyanya sambil berlalu menuju kamarnya.
Dan pertanyaannya hanya mampu kujawab dengan senyum hambar karena dia memang tak pernah membutuhkan jawabannya.
XXX
Naruto's PoV
Aku membuka mataku perlahan. Akh, kepalaku pening. Dimana ini ya?
Kuputar pandanganku ke seluruh penjuru ruangan dan akhirnya menyadari bahwa aku ada di kamarku sendiri dan aku sedang tengkurap di ranjang. Perlahan aku bangkit sambil memegang kepalaku yang terasa berputar-putar. Aku masih memakai pakaianku tadi siang.
Benar juga. Tadi, sepulang dari rumah Sasuke, aku menangis sejadi-jadinya di kamar dan mungkin saat itu aku jatuh tertidur. Ah, aku mulai merasa aneh lagi. Rasanya seperti ada yang menggeliat di perutku, menekan dadaku, dan ingin kukeluarkan dari mulutku dalam bentuk teriakan. Aku…merasa kacau.
Sedikit banyak aku menyesal. Kenapa aku harus mendengarkan semua cerita Sasuke? Bukan. Kenapa aku harus bertemu Sasuke? Kenapa? Daripada begini rasanya lebih baik mengubur semua kenangan itu. Hidup normal seperti sebelumnya. Berteman dengan Neji, Gaara, dan Shikamaru, naksir Sakura-chan, mengerjai guru aneh bermasker itu alias Kakashi-sensei. Ah, aku ingin hidupku yang itu. Hidupku yang tanpa Sasuke.
"Narutoooo! Kau tidur, ya! Cepat turun untuk makan malaaaam!" teriakan Nenek Tsunade menggema sampai ketelingaku. Padahal aku yakin dia pasti teriak dari bawah tangga. Tapi suaranya tetap saja sanggup membuat gendang telingaku pecah. Kali ini aku tak berniat memberinya julukan yang aneh-aneh.
Aku bangkit dari ranjang, berjalan menuju lemari, dan menarik baju ganti dengan sekenanya.
Ah~ ternyata anak dalam kenanganku itu sudah meninggal. Kekh, dia memang hanya masuk dalam hidupku tak lebih dari beberapa hari saja, tapi…kesannya disini, dihatiku, membekas sangat dalam. Aku…sama sekali tak bisa berpikir bahwa aku bisa sesedih ini. Sekacau ini. Bagaimana dengan Sasuke? Cih! Apakah aku harus membenarkan pikirannya yang sepihak itu? Yang seenaknya melarangku bersedih?
TOK! TOK!
"Naruto?" ternyata Nenek Tsunade sudah berada di luar kamarku. Nada khawatir terdengar jelas dari suaranya.
"Iya. Aku sedang ganti baju. Aku akan langsung turun!"
"Benar ya?"
"Iya!" dan aku mendengar suara langkah kakinya menjauh. Setelah berganti baju, kupantulkan diriku di kaca dan mendapati Naruto yang bermata merah dan sedikit bengkak di hadapanku. Ah, kelihatan sekali kalau aku habis menangis. Tapi kurasa aku bisa mencari alasan. Aku kan baru bangun tidur, wajar saja jika mataku merah.
Saat sampai di ruang makan, aku mendapati Nenek Tsunade sudah duduk di salah satu kursi makan. Sendirian.
"Kakek tidak makan dibawah?" aku mengambil duduk di hadapan Nenek Tsunade.
"Dia sedang ada ide dadakan, jadi minta makanannya untuk diantar ke kamar. Matamu kenapa?"
"Ah ini? Aku baru bangun tidur"
"Bukannya menangis?" aku tercekat. "Tadi aku melihatmu pulang sambil menutup wajah. Kukira menangis. Ha~h sudahlah! Oh, iya! Temanmu tadi…kurasa aku kenal deh Naruto!" kata-kata Nenek Tsunade yang terakhir nyaris membuatku menjatuhkan sumpit yang baru saja kuangkat.
"Eh?"
"Waktu melihatnya, aku merasa wajahnya sangat familiar. Walau bersikap biasa, aku bertanya-tanya dalam hati 'aku melihat anak ini dimana, ya?', 'Anak ini siapa, ya?'. Jadi kepikiran terus. Akhirnya tadi sore aku menyadarinya. Namanya Sasuke Uchiha, bukan?"
"Ne-nenek kenal dimana?" Naruto bangkit dari duduknya.
"Hei, antusias sekali!" kata nenek. "Aku ingat! Dia bocah Uchiha yang dulu sempat kutangani saat masih kecil. Fisiknya lemah hingga dia harus bolak-balik rumah sakit dan saat itu aku dokter yang menanganinya"
Ah, benar juga! Nenek Tsunade kan dulunya dokter. Yah, sebelum dia pensiun tiga tahun lalu. Ternyata…dokter yang menanganinya itu…nenek, ya?
"Kasihan dia. Saat dimana seharusnya dia mendapatkan dukungan penuh untuk sembuh dari penyakit terakhirnya dan menjalani operasi cangkok mata, kedua anggota keluarganya malah pergi meninggalkannya. Dia sempat tak mau dioperasi matanya karena satu-satunya alasannya untuk melihat telah hilang. Dia hanya mau melihat kakaknya"
"Tapi waktu tahu bahwa pesan terakhir sang kakak adalah untuk mencangkokkan mata miliknya padanya, akhirnya dia mau juga. Ah~ dia memang anak yang tampan. Hubungan kalian sepertinya rumit, ya?"
Aku tak tahu lagi apa yang Nenek Tsunade katakan karena aku sudah tak mendengarkan kata-katanya. Aku…jadi kepikiran tentang Sasuke.
Sasuke…
.
.
To Be Continued

0 komentar:

:10 :11 :12 :13
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
:46 :47 :48 :49
:50 :51 :52 :53
:54 :55 :56 :57
:58 :59 :60 :61
:62 :63

Posting Komentar

Silahkan anda komentar di bawah ini. Saya harap
tidak memberikan komentar spam. Jika ada
komentar spam dengan sangat terpaksa akan
saya hapus.
Buat teman-teman yang ingin tukaran link dengan
blog ini saya persilahkan komentar di halaman
link exchange.
Update link akan saya usahakan 2 minggu sekali
setiap hari sabtu / minggu.
Terimakasih atas perhatiannya.