Fuzzy Memory VI

CHAPTER 6
"…ruto, woi, Naruto!" aku tersentak kaget saat satu tangan yang menyangga daguku ditarik. Padahal aku kan sedang asyik bengong melihat lapangan yang ramai oleh anak-anak yang main bola saat jam istirahat. Kupelototi sang pelaku. Gaara. Neji berdiri di sampingnya. Shikamaru duduk dibangku depanku yang ditinggalkan pemiliknya ke kantin.
"Ada apa, sih?" tanyaku sebal.
"Kau belum cerita bagaimana jadinya yang kemarin. Tapi…sepertinya kau berhasil, ya? Si Uchiha sok cool itu sampai tak sekolah hari ini," lanjut Neji sambil menoleh ke bangku Sasuke yang kosong. Membuatku melakukannya juga. Dan akhirnya…aku merasa bersalah. Lagi.
"Memangnya rencana Shikamaru seampuh itu, ya?" tanya Gaara lagi.
"Hoi, Naruto! Jawab, dong! Gimana tampang Uchiha itu saat kau berhasil mengerjainya?" desak Neji. "Cerita dong ke kami!"
BRAK!
Aku merasa napasku sesak memburu saat kugebrak meja. Bisa kubayangkan alangkah terkejutnya ketiga sahabatku atas ulahku itu. Aku tak peduli. Yang kutahu, kurasakan saat ini adalah…aku tak mau ada yang menjelek-jelekkan Sasuke. Entahlah. Aku tahu apa yang Sasuke putuskan itu tak benar, tapi…aku juga tak bisa menyalahkannya.
Suasana yang aneh. Menekan. Aku tahu sahabat-sahabatku tengah sibuk mencerna apa yang terjadi padaku. Karena itu aku langsung menabrak Gaara yang menghalangi jalanku dan melesat meninggalkan mereka.
Kakiku membawaku berlari ke tempat biasa. Atap sekolah. Keputusan yang bodoh karena ketiga sahabatku bisa langsung menemukanku yang sedang meringkuk memeluk lutut. Ah, beruntungnya aku karena memiliki mereka. Mereka hanya berdiri di sampingku tanpa mengatakan apa-apa. Satu hal yang kubutuhkan. Orang yang bersamaku dan mengerti aku. Mengerti bahwa aku belum mau bicara.
Tapi…siapa yang ada di samping Sasuke? Tak ada. Dia tak punya siapa-siapa.
XXX
Pada akhirnya kakiku melangkah kemari sepulang sekolah. Ke rumah berpagar kayu dengan papan nama Uchiha. Untuk sesaat, aku merasa ingin berbalik. Tapi aku langsung membeku saat pintu kayu itu terbuka. Sasuke.
Dia menatapku heran bercampur sinis. Dia tengah menenteng sebuah ember kayu yang berisi bunga bakung segar. Kusembunyikan karangan bunga forget me not dan poppy yang tadi kubeli dibalik punggung. Okey, konyol sekali meminta maaf pada seorang cowok dengan karangan bunga. Tolol tak terkira. Apa yang tadi kupikirkaaaan? Tukang kembang sialan! Bagaimana aku bisa terbujuk olehnya? Bunga hanya berlaku untuk minta maaf pada perempuaaaan!
Wajahku pasti semerah kepiting rebus. Kuangkat wajah saat mendengar 'Hn' ala Sasuke.
"Apa itu untuk Itachi? Ikutlah! Aku mau ke tempatnya dan ibu," Sasuke menuruni tangga satu persatu dan akhirnya berjalan di depanku. "Aku tak mau menunggu kalau kau lelet!"
Aku langsung berlari kecil mengejarnya. Apa itu tadi? Kenapa Sasuke jadi bersikap baik? Yeah, nggak baik-baik amat, sih! Tapi…dia mengajakku, lho! Dia ngomong denganku! Dan kami pun berjalan beriringan dalam suasana penuh kebisuan ke area pemakaman yang ada di bukit belakang perumahan. Tak kusangka. Ternyata selama ini…Itachi sedekat ini.
Sasuke menghentikan langkahnya di depan makam batu pada baris kedua dari jalan utama. Aku pun ikut berhenti. Sekarang kami berdiri di depan makam atas nama Mikoto Uchiha. Aku langsung tahu bahwa itu ibu Sasuke. Tanggal kematiannya…13 Juni. Hari ini. Jadi…
Sasuke berdoa dengan hikmat di depan pusara ibunya. Kedua tangannya terkatup dan matanya tertutup dengan syahdu. Aku pun melakukan hal yang sama. Semoga arwah wanita dan ibu yang baik ini…diterima oleh Tuhan dan tenang di alam sana.
Saat selesai berdoa, aku nyaris terlonjak saat mendapati Sasuke tengah memperhatikanku. Wajahku…panas. Kualihkan wajahku ke arah yang berlawanan dan seolah tak merasa bersalah atas apa yang diperbuatnya, Sasuke berkonsentrasi kembali pada pusara ibunya.
Diambilnya beberapa tangkai bunga bakung yang ada di ember yang dia bawa dan meletakkannya di hadapan batu nisan ibunya. Diraupnya air dalam ember dengan gayung kayu sebesar kaleng susu kemudian disiramkannya ke batu nisan tersebut.
"Ini pertama kalinya aku kesini setelah masuk SMU. Selama di Hokkaido, aku sama sekali tak pernah ke tempat ini. Apa aku bisa dibilang anak tak tahu diri?" lirih Sasuke. Aku tak menjawab karena aku tahu dia hanya ingin bicara. Bukan mendengar. Lagipula aku tak yakin bahwa dia butuh jawaban. Setidaknya dariku.
"Ayo!" dia berdiri dan mengangkut ember kayunya. Berpindah satu pusara di sebelah kirinya dan kembali berjongkok. Aku mengikutinya dan berjongkok kembali di sebelah kanannya. Tiba-tiba saja napasku terasa berat begitu melihat nama Itachi Uchiha. Padahal…aku sudah menduganya tapi…
Lagi-lagi kudapati Sasuke berdoa dengan khusyuk. Membuatku sadar bahwa aku harus melakukan hal yang sama.
Begitu memejamkan mata dan mengingat kembali sosok Itachi yang kini jelas, aku merasa…sakit. Wajah ramahnya, ajakan berteduh saat pertama kali bertemu, permainan yang kami lakukan, kebaikan hatinya, ah…kenapa orang seperti dia harus pergi secepat ini? Itachi…kau tahu? Semua orang kehilangan dirimu. Dan Sasuke…dia masih membutuhkanmu.
.
Flashback
"Naruto, sebenarnya ada seseorang yang ingin kukenalkan padamu," aku yang tengah mencoba menangkap ekor Yo yang berkibas dengan cepat, mendongak ke sosok Itachi yang menjulang dengan tatapan penuh tanya.
"Dia itu pendiam. Saat ini dia hanya akrab denganku seorang. Kuharap, suatu saat nanti kalian berdua juga bisa akrab dan bersahabat. Aku mempercayakan dia padamu, Naruto…" mempercayakan? Hal macam apa itu? Karena tak begitu mengerti, aku hanya menjawab dengan 'Ya' sekenanya. Lagipula…apa ruginya menambah teman? Apalagi kalau dia akrab juga dengan Itachi.
"Siapa?" tanyaku yang mulai penasaran.
"Rahasia. Nanti akan kukenalkan. Kau pasti akan menyukainya," ujar Itachi sambil memasang telunjuknya secara vertikal di bibirnya.
End of Flashback
.
Dan kutahu kini bahwa yang dimaksudkan olehnya adalah…
Aku membuka mata, menoleh ke arah Sasuke yang kini tercenung memandangi nisan kakaknya. Wajahnya terlihat pedih. Apa? Apa yang dia pikirkan?
"Aku kaget lho karena kau mau mengajakku kemari!" bukaku sambil meletakkan rangkaian bunga yang sejak tadi kubawa di depan pusara Itachi.
"Hn," jawab Sasuke sambil meraup semua bakung yang tersisa di ember dan melakukan hal yang sama dengan apa yang baru saja kulakukan.
"Jujur, aku bertanya-tanya sejak tadi. Kenapa kau tidak sekolah? Apa kau masih marah padaku? Atau jangan-jangan kau melakukan sesuatu yang bodoh setelah kejadian kemarin? Tapi dua-duanya tak terbukti. Kau malah mengajakku kemari dan bicara duluan. Terus…kau juga masih nongol dihadapanku dengan keadaan baik-baik saja. Jadi…kenapa tidak sekolah?"
"Kalau pikirmu aku bakal bunuh diri karena kemarin, harusnya sudah kulakukan sejak dulu. Sekolah? Hari ini aku hanya ingin mengenang mereka berdua," jawabnya lirih. Aku membelalak. Tak kusangka dia akan menanggapi omonganku. Jadi speechless.
"Aku tak bisa melakukan apa-apa. Rasanya seperti dikutuk. Kalau aku ingin mengikuti egoku, aku pasti sudah mengakhiri hidupku sejak dulu-dulu. Aku telah menyebabkan ibu dan kakak meninggal. Orang-orang yang justru paling menguatkanku. Tapi aku menanggung beban untuk tetap hidup. Aku harus hidup untuk kelangsungan eksistensi Itachi. Lewat mataku. Dan kedua fakta itu sungguh membuatku tertekan. Heh, kalau aku bilang begitu kau juga tak akan mengerti, kan?" lirihnya lagi.
Mata Sasuke membuka lebar bagai kerang yang kini memperlihatkan mutiara hitam berkilau saat kedua tanganku membingkai wajah mulusnya. Tak peduli akan ditampar setelah ini atau apalah, aku memaksanya menghadap kearahku.
"Jangan menyalahkan diri! Kenapa menyalahkan dirimu sendiri? Kenapa berpikir bahwa kau yang menyebabkan mereka meninggal? Mereka meninggal karena kecelakaan, Sasuke!" teriakku emosi. Aku tahu ini bukanlah hal yang pantas dilakukan di pemakaman, tapi aku juga tak bisa berdiam diri.
"Iya! Dan seandainya aku tak merengek-rengek pada ibu untuk membawa Itachi ke rumah sakit, kecelakaan itu tak akan pernah terjadi, bodoh! Karena itulah semuanya salahku!" Sasuke menepis tanganku yang masih betah bertengger di wajahnya dengan nada suara kesal. Tangannya yang menepisku langsung kutangkap dan itu membuat Sasuke menggeram marah kearahku. Tapi aku tak peduli.
"Itu artinya kau juga menyalahkan mereka atas semua penderitaanmu. Begitu, kan? Kau menyalahkan Itachi yang memberimu mata itu. Yang membuatmu 'terpaksa' menjalani hidup hanya untuknya! Kau juga menyalahkan ibu dan kakakmu yang begitu mencintaimu sampai rela menjengukmu walau dalam keadaan lelah? Begitu? Akuilah Sasuke! Akuilah bahwa kau menyalahkan mereka berdua! Bukankah saat ini buatmu akan lebih baik jika kau yang mati saja! Iya, kan?"
Sasuke terbengong-bengong menatapku. Mataku…kabur. Bisa kurasakan air berkumpul di mataku dan siap membludak kapan saja.
"Mereka mencintaimu, Sasuke. Mereka peduli padamu. Apa yang mereka lakukan, ibumu yang menjengukmu dalam keadaan lelah, Itachi yang memberikan matanya, itu semua mereka lakukan karena mereka menyayangimu! Tak terbersit sedikitpun dalam pikiran mereka bahwa kau akan menderita seperti ini. Mereka pasti ingin melihatmu bahagia. Jadi…tolong berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Please…"
"Naru…to?" aku melepaskan tangannya dan mulai menutup mataku dengan lengan. Sial! Sial! Kenapa aku malah menangis? Kenapa aku cengeng sekali? Kenapa juga aku harus peduli pada anak egois dihadapanku ini? Kenapa-
Aku mengangkat wajahku kembali saat mendegar Sasuke menghela napas panjang. Tak lama mata onyx-nya terpancang di mata saphire-ku.
"Thanks!" ujarnya singkat. Aku menyeka mataku yang basah dengan punggung tangan. Sialan! Aku sudah ngomong capek-capek sampai nangis bombay begini, dan dia cuma bilang thanks? Tapi…yah lumayan.
Dia bangkit berdiri sambil mengangkat ember kayunya yang kini telah kosong. Dengan cueknya dia melewatiku yang masih duduk berjongkok dan sibuk menyeka mata. Dasar manusia es! Tak punya perasaan! Menyesal aku telah begitu peduli padanya! Menyesaaaaal!
Setelah lima langkah dia berhenti. "Naruto, aku nggak akan mengatakan hal memalukan barusan pada teman-teman di sekolah. Dan kurasa…," dia berbalik kearahku.
"Kau itu nggak buruk juga," katanya dengan wajah lembut. Eh? Apa? Lembut? Ya, Tuhaaaan…mudah-mudahan aku wajahku tak semerah udang rebus saat ini. Sepertinya aku mulai terserang demam. Wajahku panas. Apalagi saat ngomong begitu, langit sore di belakangnya memberi efek yang begitu mengagumkan. Membuatku sempat berpikir bahwa dia itu malaikat atau apa.
"Mau sampai kapan kau disitu? Jangan GR! Aku tetap tak menyukaimu! Kau berisik dan sok tahu!" ujarnya sambil berjalan meninggalkanku. Kali ini tanpa berjalan lambat ataupun menoleh lagi. Dasar aneh!
Itachi-ni, kenapa kau menitipkan orang yang begini menyebalkan kepadaku?
Tapi entah kenapa, saat berlari kecil menyusul Sasuke, aku tak dapat menahan diri untuk tak tersenyum. Senyum yang tak kuduga juga tengah terpajang di bibir sang raven.
XXX
Pagi ini, entah kenapa kakiku mengajakku untuk melangkah kesini. Menjauhkanku dari halte tempatku biasa menunggu bus menuju sekolah. Oke, katakan aku gila. Katakan pikiranku sedang kacau sampai-sampai rela mengunjungi tempat ini lagi. Dan sialnya, itu yang sedang kulakukan!
Pintu kayu di hadapanku terbuka. Wajahku terangkat, berpikir bahwa yang membuka pintu dia. Tapi bukan. Itu ayahnya. Seorang pria berusia empat puluhan dengan tampang tegas namun tampan. Tangannya menjinjing tas kerja dan pakaiannya rapi. Pasti mau berangkat kerja. Ia menatapku dengan heran dan terlihat seperti sedang mengingat-ingat.
"Se-selamat pagi, Tuan Uchiha!" sapaku sambil membungkuk dalam-dalam. Tadinya mau kabur, sih! Tapi kok kayaknya jadi seperti maling.
"Ah, kau temannya Itachi yang pulang dari sini sambil menangis tempo hari, bukan?"
A-apa? Ke-kenapa? Ah, iya! Aku ingat! Waktu pulang dari sini setelah Sasuke bercerita, aku menabrak seseorang. Tapi karena penglihatanku sudah buram, aku tak tahu siapa yang kutabrak. Ternyata itu ayah Sasuke, toh? Tapi…tadi dia bilang apa? Itachi? Apa aku salah dengar?
Ayah Sasuke membuka pintu kayu di belakangnya dan…
"ITACHIIIII! Ada temanmu menjemput diluar!" teriaknya. Dan aku jadi yakin seratus persen bahwa aku tak salah dengar.
"Baiklah! Tunggu saja disini, ya! Aku mau berangkat kerja," Tuan Uchiha menunduk ramah padaku sebelum akhirnya berjalan meninggalkanku. Bersamaan dengan bunyi 'KRIET' dari arah pintu, aku melihat replikanya dalam bentuk sedikit lebih mungil dan berseragam keluar. Sasuke.
"Kau? Ngapain kau kesini?" tanyanya dengan tampang datar.
"Kenapa? Nggak boleh? Terserah kakiku dong mau melangkah kemana?" jawabku seenaknya. Sasuke mengangkat sebelah alisnya namun tak mengatakan apa-apa lagi. Seperti ayahnya, dia berjalan meninggalkanku yang masih berdiri mematung ditempat semula. Cih! Apa-apaan ini? Tidak sopan!
Aku berlari kecil dan akhirnya berhasil menjejeri langkahnya. Oke, aku memang kesal akan kelakuannya, tapi aku lebih penasaran pada yang satu ini.
"Sasuke! Kenapa ayahmu memanggilmu Itachi?" tanyaku.
Sasuke menghentikan langkahnya. Seketika itu juga wajahnya mengeruh.
"Bukan urusanmu!" jawabnya sambil sedikit menggeram.
"Ya…tapi itu kan aneh! Masa dia memanggilmu Itachi? Sudah berapa lama Sasuke?" tanyaku tak menyerah. Aku tahu dia bisa saja marah lagi, tapi aku sungguh-sungguh ingin tahu. Memanggil orang lain dengan nama orang yang sudah meninggal, bukankah itu kedengaran kejam? Setidaknya, itu seperti mengatakan secara gamblang bahwa orang yang telah meninggal itu jauh lebih penting dan dicintai ketimbang yang masih hidup. Begitukah?
"Kubilang bukan urusanmu!" ujarnya sambil berlari kencang meninggalkanku.
Kali ini aku tak mengejar. Tahu bahwa aku telah mencoba membobol privasinya terlalu dalam. Ini seharusnya bukan urusanku, tapi…
Sasuke…
.
.
.
To Be Continued

0 komentar:

:10 :11 :12 :13
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
:46 :47 :48 :49
:50 :51 :52 :53
:54 :55 :56 :57
:58 :59 :60 :61
:62 :63

Posting Komentar

Silahkan anda komentar di bawah ini. Saya harap
tidak memberikan komentar spam. Jika ada
komentar spam dengan sangat terpaksa akan
saya hapus.
Buat teman-teman yang ingin tukaran link dengan
blog ini saya persilahkan komentar di halaman
link exchange.
Update link akan saya usahakan 2 minggu sekali
setiap hari sabtu / minggu.
Terimakasih atas perhatiannya.