Sister?

Chapter 1 : Akhiri saja…
"KYAAAA!"
Ah, jeritan itu lagi.
Kenapa lagi mereka berdua hari ini?
Tidak bosan kah membangunkanku setiap hari dengan cara begitu?
Tidak malu kah mereka berperilaku aneh padahal di rumah ini ada anak di bawah umur seperti ku?
"Ahk! Cukup, Byakuya! Aku tidak ingin dengar lagi!", Hisana, kakakku memekik di sepanjang koridor rumah ini, menderap tak karuan menghindari suaminya.
"Dengar dulu, Hisana. Aku-", pinta kakak iparku itu, terlampau sabar.
"Hentikan, hentikan, hentikan, HENTIKAN!"
Kuintip mereka berdua dari balik celah pintu kamarku yang terbuka sedikit.
Apa lagi hari ini? Apa masalahnya? Masih sama dengan kemarin kah?
"Hisana, kemarin aku terpaksa harus menghadiri rapat mendadak, aku meneleponmu tapi tidak ada jawaban. Kutelepon Rukia, kukatakan padanya," ups! Aku lupa menyampaikannya pada kakak.
"Hih! Jangan bawa-bawa adikku!" hujam Hisana lagi, "masalahnya bukan pada kau telepon atau tidak, tapi dengan siapa kau rapat semalam!"
"Pertama, jangan sebut Rukia hanya adikmu, dia juga adikku! Kedua, aku rapat dengan klienku, hanya klien, Hisana, demi Tuhan!", balas kakakku yang satunya, Byakuya.
Tampaknya ini akan buruk. Buruk karena kalau aku masih mengahabiskan waktu mengintip dan tidak bersiap-siap ke sekolah, maka aku jelas akan terlambat, itu sungguh buruk.
Pertengkaran mereka berdua bukan hal yang baru bagiku sejak Byaku-nii lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor untuk mempersiapkan setiap persidangan kliennya. Tampaknya Sana-nee sedikit terlupakan sejak tiga bulan yang lalu.
Aku? Aku tidak ingin ikut campur, meski kudengar dalam setiap perselisihan mereka selalu membawa-bawa namaku.
_.
_.
Ponselku berdering nyaring saat aku selesai mengemasi semua keperluan sekolah dalam tasku.
"Halo?" ujarku datar.
"Ru! Cepatlah keluar dari rumahmu! Aku di depan!"
Ichigo.
Seperti biasa dia akan menelepon begitu sampai di depan rumah. Katanya, dia tak akan menginjakkan kakinya lagi dalam rumah ini, karena dua minggu yang lalu begitu mengetuk pintu, Sana-nee dan Byaku-nii menyemprotnya bersamaan. Sebenarnya sih tidak sengaja. Kebetulan saja dua orang itu mau keluar rumah saat sedang marah-marah dan bertepatan dengan datangnya Ichigo. Anak jeruk yang malang.
Kututup ponselku, melaju menuruni tangga, menuju pintu depan.
Aku tidak ingin dengar apa-apa lagi dua orang itu.
Aku bosan. Tapi tidak pernah kukatakan itu pada mereka. Aku bukan tipe yang seperti itu.
Tapi,
"RUKIA!", mati! Aku tertangkap.
Kubalikkan badanku, menatap dua orang itu berdiri di sana, menatapku lekat-lekat.
"Ya?" tanyaku, gugup.
Tidak ada yang menjawab, bicara.
Oh, harus kuperjelas ini.
"Uhh, mengenai telepon Byaku-nii tadi malam...aku lupa menyampaikannya pada Nee-san. Maafkan aku Nii-sama, maafkan aku Nee-san!", aku harus minta maaf agar salah paham ini segera berakhir dan aku bisa pergi ke sekolah dalam damai.
Aku membungkuk dalam-dalam di depan mereka berdua yang masih mematung memandangiku.
"Oh, sudahlah, Rukia. Bukan salamu, Sayang…", kata Sana-nee, kulihat lagi senyum khasnya padaku.
"Ayo, Rukia. Nanti kau terlambat, segeralah ke sekolah," kali ini Byaku-nii yang senyum, mengahampiriku, memegang kepalaku, kemudian mengantarku ke depan rumah.
Begitu membuka pintu gerbang traditional Jepang itu, Byaku-nii memicingkan matanya. Entah karena silau melihat rambut Ichigo yang terlalu matching dengan sepedanya yang juga berwarna oranye, atau karena Byaku-nii kurang suka padanya.
"Anak jeruk itu lagi, Rukia?" tanya Byaku-nii dengan nada dingin, masih dengan tatapan mengintimidasi pada Ichigo, yang hanya bisa cengengesan, "hehe.."
Buru-buru kutepis atmosfer aneh ini.
"Byaku-nii, dia hanya anak jeruk. Tidak berbahaya," ujarku tersenyum padanya.
"Baiklah! Aku berangkat ya, Byaku-nii," kupeluk Nii-sama, mencoba menenangkannya, kemudian menghampiri Ichigo yang sudah berkeringat dingin, naik ke boncengan sepedanya, yang kemudian mulai menggelinding hingga sekolah.
Aku tahu.
Aku tahu, sikap mereka berdua yang barusan, hanya sesaat.
Hanya di depanku saja. Mereka pikir aku tidak tahu keadaan mereka.
Aku masih bisa melihat Nii-sama sebelum Ichigo berbelok ke tikungan.
Kulambaikan tanganku pada Nii-sama, berharap dengan melambai dan tersenyum padanya bisa meyakinkannya bahwa aku tidak ingin terjadi apa-apa padanya dan Nee-san.
Aku menyayangi mereka berdua.
Sungguh.
"Kurasa, Rukia harus tahu ini setelah dia pulang nanti," ujar Byakuya, begitu memasuki rumahnya kembali.
"Ya, meski aku tahu ini berat untuknya," Hisana hampir tidak bisa lagi menahan air matanya.
Byakuya, menatap istrinya, terhenyak kehabisan tenaga di kursinya.
"Hisana…tidak hanya untuk Rukia, ini sangat berat bagiku. Tidak bisakah-."
"Tidak bisa, Byakuya. Kumohon, hentikan saja semuanya."
Pria itu tak bisa lagi menghentikkannya, begitulah pikirnya, mungkin.
Hanya hening menyelemuti mereka berdua untuk beberapa saat.
Tidak ada yang bicara, hanya detak jantung mereka yang terdengar sunyi dalam telinga mereka masing-masing.
_.
Ini berat.
Setelah sekian lama bersatu dalam keluarga Kuchiki, perpisahan adalah bencana bagi Byakuya.
Ia sudah terlanjur terlalu sayang pada Rukia, adik kecilnya, yang selama ini membuat harinya penuh tawa riang ala anak remaja.
Ia lebih dari sekedar cinta pada Hisana, wanita terkasihnya, yang telah mengubah hidupnya yang kelabu menjadi berwarna, meruntuhkan benteng hatinya yang abadi, menghangatkan seluruh klan Kuchiki hanya dengan senyumnya.
"Setelah perceraian ini," ujar Hisana lirih, "aku akan bawa Rukia. Jadi-," belum selesai kalimatnya, si calon mantan suami sudah menyela.
"Tidak, Hisana. Rukia akan tetap di sini. Dia adikku, jadi-," sama saja, si calon mantan istri juga menyela.
"Tidak bisa. Rukia adikku."
"Rukia adalah Kuchiki. Dia akan tetap di sini setelah kita bercerai."
"Tapi dia adik kandungku!" Hisana memekik geram.
"Keluarga ini sah mengadopsinya!" Byakuya tetap bersikeras, adik kesayangannya tetap bersamanya.
"Kau tidak punya hak, Byakuya. Dia masih di bawah umur, aku berhak merawatnya, aku kakak kadungnya, satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini."
Hisana tidak menginginkan apapun setelah mereka berpisah, dia hanya ingin adiknya, pergi dari keluarga besar Kuchiki bersamanya.
"Kau tidak akan mampu merawatnya. Dia butuh pendidikan yang layak, butuh ini dan itu. Dan aku yakin kau tidak akan sanggup," Byakuya tidak akan menyerah begitu saja. Hisana boleh minta apapun setelah mereka bercerai, tapi tidak untuk membawa Rukia bersamanya.
"Ap-apa?..." Hisana tak sanggup merespon atas kalimat Byakuya.
Begitukah caranya merendahkan istrinya? Hisana tidak mampu untuk hidup tanpanya, bahkan untuk memberi Rukia yang terbaik?
"Ma-maafkan aku, Hi-," Byakuya sadar kata-katanya tadi…
"Tidak perlu. Aku tahu itu. Tapi, perlu kau tahu, Tuan Kuchiki. Aku tetap membawa Rukia, apapun yang terjadi," ujar Hisana tegas, berdiri dari kursinya, bersiap mengemasi barang-barangnya.
Tidak adakah hal lain yang lebih masuk akal untuk diperebutkan diakhir hubungan mereka?
_.
- END of Chap ONE -

0 komentar:

:10 :11 :12 :13
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
:46 :47 :48 :49
:50 :51 :52 :53
:54 :55 :56 :57
:58 :59 :60 :61
:62 :63

Posting Komentar

Silahkan anda komentar di bawah ini. Saya harap
tidak memberikan komentar spam. Jika ada
komentar spam dengan sangat terpaksa akan
saya hapus.
Buat teman-teman yang ingin tukaran link dengan
blog ini saya persilahkan komentar di halaman
link exchange.
Update link akan saya usahakan 2 minggu sekali
setiap hari sabtu / minggu.
Terimakasih atas perhatiannya.